Perempuan Kontributor Pembangunan Bangsa


Peran perempuan dalam pembangunan bangsa Indonesia dianggap sangat besar dan merupakan aset bangsa yang potensial dan kontributor yang signifikan dalam pembangunan ekonomi, baik sebagai agen perubahan maupun subyek pembangunan. Dalam hal pembangunan di Indonesia, perempuan memegang peranan penting. Sejumlah 118.048.783 (49%) orang, adalah perempuan  dari 237.556.363 orang penduduk Indonesia (sensus pendudukan 2010), merupakan jumlah yang potensial untuk pembangunan nasional. 

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar mengatakan, perempuan merupakan aset dan potensi luar biasa untuk mengurangi angka kemiskinan, mewujudkan pembangunan, perdamaian, dan keamanan. Jika mereka diberdayakan secara ekonomi dan intelektualitas, maka akan sangat efektif bagi pengembangan masyarakat dan bangsa.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidatonya pada acara puncak  peringatan Hari Ibu ke-83 juga memberikan apresiasi yang tinggi kepada kaum perempuan. Bahkan, secara eksplisit beliau menyatakan bahwa kaum ibu bisa menjadi penggerak sektor ekonomi akar rumput di masyarakat.

Umat muslim saat ini diracun oleh kaum liberalis, racun-racun tersebut adalah pluralism, demokrasi, kesetaraan gender, dan masih banyak lagi.  Lewat UU KKG(keadilan dan kesetaraan gender), perempuan diliberalkan oleh kaum liberalis dari hukum Allah, mensekulerisasi muslimah atas nama gender. UU KKG ini bertujuan untuk menyamakan hak dan kewajiban antara lelaki dan wanita.


            Musda mulia yang berperan sebagai biang JIL, mengusung isu gender dalam FLA(fikih lintas agama), biang JIL ini mengusulkan kesetaraan dalam agama Islam. Kaum liberalis menganggap Al-Quran dan syariat Islam adalah sumber ketidakjelasan gender (perlakuan tak setara gender).  Beberapa gugatan kaum liberalis yaitu hak bagi waris lelaki yang 2 kali lipat wanita, talaq yang ada di tangan lelaki, poligami, menggugat kiprah politik perempuan, bolehnya memukul istri dalam syariat islam, dan mengusulkan aturan-aturan itu dicabut. Pokok yang menjadi permasalahan adalah karena adanya kesetaraan gender, yang membebaskan wanita berfikir seperti wanita-wanita barat kapitalis.

            Sejarah telah mencatat, bias gender sudah terjadi ketika masa dark ages di eropa, pada abad pertengahan 5-15 M. gereja menjadi badan terkuat setelah landlord, agama katolik menjadi agama Negara, dan aturan gereja adalah mutlak. Termasuk anggapan gereja saat itu menganggap gender wanita sebagai aib, penyebab adam diusir dari surga, container of satan kata mereka. Maka mulai gender wanita diperlakukan berbeda, anggapan katolik, masyarakat adopsi, wanita dianggap warga kelas dua dibawah laki-laki. Begitulah sejarah mencatat, sejarah yunani, romawi, Kristen katolik. Wanita selalu dianggap sebagai bawahan pria. Gender wanita dianggap beban karena tak mampu mencari nafkah, dikuasai laki-laki, dan boleh diperlakukan semena-mena, tidak diperbolehkan belajar. Kristen menganggap merekalah sebab keluar dari surga, dosa sejak lahir kaum wanita.

Pemahaman yang menjadikan standar kebahagiaan terletak pada harta, jabatan dan kenikmatan dunia. Hingga lahirlah gerakan feminisme di barat, pelampiasan karena mereka merasa diperlakukan tidak adil, lalu memprovokasikan bahwa gender laki-laki dan gender wanita harusnya punya akses yg sama terhadap harta, kerja dan semua kebebasan lainnya. Jika laki-laki bisa bekerja, maka wanita juga bisa bekerja, jika laki-laki boleh berpolitik maka wanita juga. Hasilnya? Broken home, tingkat perceraian meningkat, anak-anak menjadi korban, depresi, dan stress perempuan meningkat. Hal ini dikarenakan mereka telah meninggalkan tugas utama sebagai ummun wa robbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga).

Semua hal ini terjadi karena kesetaraan gender, menyamakan antara lelaki dan wanita, padahal keduanya berbeda, keduanya memiliki jalur masing-masing. Cacatnya system yang menganggap pria dan wanita sama, yang sudah jelas tidak bisa disamakan secara gender. Cacatnya kapitalis yang menjadikan standar kebahagiaan hanya pada materi. Perlu digaris bawahi, bahwa masalah gender berasal dari tatanan hidup barat sekuler, bukan dari Islam samasekali.

Islam sangat memuliakan wanita, ketika Islam datang, wanita diangkat derajatnya. Pandangan Islam terhadap lelaki dan wanita berbeda secara gender, namun mendapatkan akses yang sama terhadap kebahagiaan, yaitu ridha Allah SWT.

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.. (QS9:71)

       Kebahagiaan adalah ridha Allah semata, itulah Islam. Sedangkan kapitalisme menjadikan kebahagiaan pada materi. Maka perempuan bisa sama bahagia dengan laki-laki tak perlu isu kesetaraan gender yang menyesatkan. Lelaki berlomba shaf paling depan, perempuan berlomba shaf dibelakang, keduanya mendapat ridha Allah, jalur masing-masing sudah tetap. Lelaki berlomba syahid di medan jihad, perempuan berumrah mendapat pahala yang sama, jalurnya sudah ada, tak perlu disetarakan gender. Perempuan mengurus rumah dan keluarganya, lelaki mencari nafkah untuk keluarga, tak perlu berlomba di jalur yang sama, semua dapat ridha.

Itulah indahnya islam, memberikan jalurnya sendiri untuk perempuan dan laki-laki. Karena jika disetarakan hasilnya adalah kehancuran, pria mencari nafkah angkat barang, perempuan bisa menyamai? Tidak. Perempuan melahirkan, laki-laki bisa menyamai? Tidak. Laki-laki memimpin kaumnya, bila wanita yg memimpin? Hasilnya stress dia. Allah yang lebih tahu tentang jalur kebaikan bagi pria dan wanita, Allah yang lebih tahu yang mana yang pantas bagi perempuan yang mana yang tidak. Islam menghormati wanita, dia tak dikumpulkan dengan pria, Islam menggariskan aktivitas wanita bersama-sama dengan jamaah wanita, karena yang berharga memang harus dilindungi dan dijaga Islam memerintahkan wanita menutup aurat, dan tak banyak menampakkan dirinya. Islam memuliakan posisi ibu 3 kali lipat lebih banyak daripada lelaki, siapa yang harus ditaati ya Rasul? “ibumu!” ibumu!” “ibumu!” “lalu ayahmu!”

Islam mengukur lewat ketakwaannya, amal ibadahnya, tak seperti kapitalis liberal yang mengukur kecantikan dari lekuk tubuh. Kesimpulannya, perjuangan muslimah untuk kebangkitan ummat tidak bisa dilepaskan dari perjuangan dengan laki-laki, karena untuk mewujudkan masyarakat Islam, dimana di dalam masyarakat itu terdiri dari laki-laki dan perempuan, mengharuskannya berjuang bersama-sama, tidak terpisah-pisah dan bersaing satu sama lain. Aktivitas muslimah untuk terlibat mewujudkan kebangkitan yang hakiki jangan sampai meninggalkan kodratnya sebagai wanita dan fungsi utamanya sebagai ummun wa robbatul bait. Disinilah dituntut bagi muslimah, untuk mampu mengatur diri dan melaksanakan konsep prioritas dalam aktivitasnya


 Setidaknya itulah yang bisa kita lihat di sejarah dan juga fakta saat ini. tak ada yang lebih memuliakan wanita selain aturan Islam. [Naufalard]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berharap Menjadi Ikhwan yang Ia Rindukan

Generasi Wacana

Bagaimana Cara Menghancurkan Islam